PERS RELEASE KOALISI MASYARAKAT SIPIL SULSEL KAWAL RUU MASYARAKAT ADAT

Blog Single

Pengantar

Sebuah kesyukuran luar biasa karena masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. Harapan Masyarakat ini menjadi momen penting bagi DPR RI untuk menunjukkan keberpihakan nyata terhadap Masyarakat Adat. Setelah 15 tahun RUU Masyarakat Adat ini tak kunjung selesai. Prolegnas yang diusulkan DPR dan DPD RI menjadi awal dari komitmen konkret untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Delapan Fraksi Partai Politik di DPR RI segera membahasanya pada tahun 2025.

Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 18b ayat 2 sejatinya mendapatkan pengakuan dari Negara dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu maknanya, pengakuan atas tanah ulayat, wilayah, asal-usul, dan budaya tidak tersingkirkan dan tidak menjadi persoalan. Apalagi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/ PUU-X/2012 (MK-35) telah menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari kawasan hutan negara, melainkan bagian dari hak masyarakat adat.

Ironinya kompleksitas persoalan, menyebabkan pengakuan keberadaan Masyarakat Adat tidak berjalan dengan baik. Pertama, tidak adanya pengakuan secara utuh atas keunikan dan kekhasan masyarakat adat sebagai masyarakat. Semisal tari-tariannya diakui, tapi kepercayaannya tidak. Kedua, pengaturan dan pengelolaan Masyarakat Adat di tingkat pemerintah pusat tidak terintegrasi, masih terserak setidaknya di 13 kelembagaan di mana nomenklaturnya pada level direktur/eselon tiga ke bawah. Sehingga tidak ada strategi kebijakan yang komprehensif.

Selain pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah, penetapan hutan adat juga masih jauh dari harapan. Hingga saat ini, Kementerian Kehutanan baru menetapkan 156 wilayah adat dengan luas 322.505 hektar sebagai hutan adat. Padahal, berdasarkan data BRWA, potensi hutan adat yang dapat ditetapkan mencapai 24,5 juta hektar. Kesenjangan ini mencerminkan masih besarnya pekerjaan rumah pemerintah dalam menjalankan mandat MK-35. Diperlukan langkah strategis yang lebih konkret dan keberpihakan politik yang lebih kuat untuk mempercepat pengakuan dan hak-hak dan wilayah adatnya.

Berdasarkan fakta-fakta ini, maka penting merumuskan RUU Masyarakat ini dengan jabaran “masyarakat adat yang terdiri dari masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional adalah sekelompok orang yang sebagian atau seluruhnya memiliki identitas budaya yang sama, hidup secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, memiliki hubungan yang kuat dengan wilayah adatnya dan memiliki sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum.

Penting pula melihat beberapa hal di bawah ini:

Tindakan Khusus Sementara (Affirmative Action)

Dalam perjalanannya Masyarakat Adat di Indonesia mengalami penyangkalan, pengingkaran, pengabaian, pengucilan, konflik, dan kekerasan, yang berdampak pada terbatasnya Masyarakat Adat untuk menikmati hak-haknya. Karena itu perlu ada pasal yang khusus mengatur tentang tindakan khusus, sementara bagi masyarakat adat, perempuan adat, maupun pemuda adat agar mereka dapat berdiri setara dengan masyarakat warga Indonesia lainnya.

Pada tahun 2020 jumlah korban sebanyak 39.069 jiwa yang terdiri dari 18.372 kepala keluarga. Selanjutnya sepanjang tahun 2023 perampasan wilayah adat meningkat, setidaknya terdapat 2.578.073 hektar wilayah adat. Sebagian besar disertai dengan kekerasan, pengerahan aparat negara dan kriminalisasi yang menyebabkan 247 orang korban - 204 diantaranya luka-luka, 1 orang ditembak sampai meninggal dunia, dan sekitar 100 rumah warga adat dihancurkan karena dianggap mendiami Kawasan konservasi.

Catatan Akhir tahun AMAN 2024, mencatat setidaknya terdapat 121 kasus yang berdampak pada hilangnya 2.824.118, 36 hektar wilayah adat di 140 komunitas Masyarakat Adat yang terdiri dari berbagai sektor diantaranya: 58 konflik dengan konsesi perkebunan, 9 konflik dengan Kawasan hutan dan konsesi hutan, 29 konflik dengan konsesi tambang, 5 konflik dengan Industri Energi, 14 konflik dengan proyek infrastruktur, 2 konflik dengan konsesi pertanian & peternakan, dan 4 konflik dengan proyek pariwisata.

AMAN mencatat dalam 10 tahun terakhir terdapat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 juta Hektar yang mengakibatkan lebih dari 925 orang warga Masyarakat Adat yang dikriminalisasi, 60 orang diantaranya mendapatkan tindakan kekerasan dari aparat negara, dan 1 orang meninggal dunia.

Kasus-kasus mencakup di kawasan hutan, pesisir dan pulau-pulau kecil, perkebunan, pertambangan dan Bendungan yang berdampak pada pencemaran lingkungan di wilayah adat. Kekerasan juga dilakukan oleh oknum TNI dan POLRI. Kondisi ini hanyalah puncak dari gunung es, di mana lebih banyak kasus kekerasan dan kriminalisasi masyarakat adat yang belum terdokumentasi.

Hak Kolektif Perempuan Adat

Adalah penguasaan wilayah dan sumber daya alam juga pengetahuan secara bersama-sama dan utuh sebagai satu kesatuan dari sebuah kelompok perempuan adat. Masyarakat Adat memiliki kekayaan intelektual yang didapat dari pengalaman selama ratusan tahun, seperti pengetahuan mengenai pangan, pewarnaan dalam tenun, proses menenun, mengenai iklim, mengenai tumbuhan obat-obatan. Namun kekayaan intelektual itu tidak dianggap sebagai pengetahuan yang perlu dilindungi dan dijaga. Karena itu pengakuan hak kolektif perempuan adat menjadi penting ditampilkan dalam RUU, untuk melindungi dan memelihara pengetahuan adat sekaligus menjaga eksistensi perempuan adat.

Praktik pengelolaan sumber daya alam oleh Masyarakat Adat, selain berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan hidup, juga berkontribusi untuk ekonomi. Riset yang dilakukan AMAN (2018) menunjukan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam di enam wilayah adat menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan mencapai Rp 170,77 miliar per tahun, dan ini dapat mendorong perekonomian di daerahnya.

Harapan dan Rekomendasi Kepada Anggota DPR RI dan DPD RI

RUU Masyarakat Adat Adalah Peluang Untuk Memperbaiki Ketidakadilan Ini. Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel Kawal RUU Masyarakat Adat, agar DPR RI dan DPD RI segera memenuhi janjinya untuk mengesahkan RUU ini menjadi undang-undang pada tahun 2025.

DPR RI harus segera membuktikan keberpihakannya melalui langkah nyata demi keadilan, hak asasi manusia dan keberlanjutan hidup Masyarakat Adat di Indonesia.

DPR harus memahami bahwa pengesahan RUU ini bukan hanya soal menunaikan tugas legislasi, tetapi juga soal menegakkan keadilan bagi Masyarakat Adat yang selama ini terpinggirkan. Dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, DPR juga dapat membuktikan komitmen Indonesia dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keadilan iklim di mata dunia.

Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel Kawal RUU Masyarakat Adat, telah mempertimbangkan langkah-langkah strategis dengan mendorong 25 anggota DPR RI asal 3 Dapil di Sulawesi Selatan untuk menyalurkan aspirasi Masyarakat Sulawesi Selatan mengesahkan RUU Masyarakat Adat ini. Dimulai audiensi dengan  Anggota Legislatif DPR RI Komisi I dari Fraksi PKB, Dr. Syamsu Rizal, MI., S.Sos., M.Si. hari Kamis, 19 Juni 2025 di Aula Den Upa Ruman AMAN Sulsel,dan akan dilanjutkan dengan beraudiensi dengan 24 anggota legislatif lainnya.

Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari PW AMAN Sulawesi Selatan, Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan Sulsel, Forum Informasi dan Komunikasi (FIK Ornop), Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, Walhi Sulsel, Kontras Sulawesi, LAPAR, AGRA, SCF, Cita Tanah Mahardika, PBHI, LBH Apik Sulsel, Perkumpulan Suara Perempuan, LBH Makassar, PHW Perempuan AMAN Sulawesi Selatan, BPAN Sulawesi Selatan, PPMAN Region Sulawesi.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat